- Back to Home »
- Menjadi Om-Om di Warung Sate Solo
"Bu, pesen sate ayamnya satu ya!", kataku ke ibu penjaga warung Sate Solo di seberang Masjid Aljabbar ITB.
"Siap Om!", jawab si Ibu yang samar-samar kudengar. Ku kira aku salah dengar mengingat wajah & umurku tergolong berkorelasi, sama-sama muda. Jadi, yaa sudahlah, aku hiraukan saja panggilan om tadi.
Sambil menunggu sate dipanggang, aku memandang lalu lalang kendaraan di jalan utama Bandung-Cirebon yang kebetulan melewati Jatinangor. Selalu ramai, seolah tak pernah habis aktifitas manusia di jalanan. Ada truk-truk besar pengantar barang dengan supir yang sibuk menikmati batang rokok di balik jendela truk. Kalau lepas rokok itu dari mulutnya, bisa oleng truknya. Kenapa?
Karena rokok adalah penghilang kantuk. Nikotin yang dihirup dari asap rokok memicu saraf otak untuk tetap merangsang fungsi organ tubuh lain tetap fit.
Ada juga minibus Bandung-Cikijing, biasa disebut elf. Penumpangnya padat, kernet mobilnya menggantung di pintu, supirnya alergi berkendara lambat-lambat. Supir elf inilah raja jalanan di jalur Bandung-Cirebon, selain emak-emak matic tentunya.
10 menit kemudian, sate ayam sudah matang. Setelah sate dibubuhi kuah kacang, si Ibu langsung memberikannya padaku.
"Silahkan Om dimakan satenya.", kata si Ibu sambil tersenyum lebar 5 cm simetris kiri & kanan.
Waduh bu, memang aku punya jambang di wajah yang tak jauh beda dengan om-om diluar sana, tapi setidaknya ibu bisa toh melihat raut muka yang muda lagi tampan ini. Gak mungkinlah aku yang imut-imut gini jalan bergandengan dengan tante-tante.
Tapi kalau tante yang aku gandeng janda muda usia sekitar 20 tahun sih gak apa-apa, rela sih jadi om.
Untung satenya enak & nasinya banyak, setidaknya bisa menghapus kesedihan setelah disapa dengan panggilan yang tak sesuai realita.