Prestasi, Hidup Semenjana, dan Kekhawatiran
Ku baru sadar gak punya prestasi apapun dalam (setidaknya) 6 tahun terakhir setelah melihat deretan piala Kejurda Silat 27-28 September 2025 di GOR Parit 3 Toboali.
Sebenarnya menjalani hidup medioker seperti mengerjakan rutinitas kerja, menekuni hobi, bersosial, istirahat, dll cukup menyenangkan.
Baru menyedihkan bila terbesit pikiran untuk membandingkan diri ke orang lain. Entah perihal prestasi, pendidikan, karir, ekonomi, asmara, dll.
Muncul penyesalan pada masa lalu, kekhawatiran akan masa depan, sekaligus kealpaan pada masa kini.
Entah apa yang harus kulakukan untuk mengatasi kekhawatiran itu. Mungkin sejenak menghela nafas panjang, duduk merenung, menulis prioritas tujuan, menyicil hal-hal yang harus dikerjakan, dan mengatasi berbagai hambatan.
Wisata ke Komplek Makam Raja Kotagede
Menurut beberapa sumber, Komplek Makam Para Raja ini merupakan saksi bisu sejarah kerajaan Mataram Islam abad 16, cikal bakal keraton Yogyakarta dan Surakarta masa kini. Di dalam komplek tersebut, terdapat beberapa bangunan berdesain khas campuran Jawa dan Hindu seperti makam para raja, gerbang keraton, masjid keraton, dan rumah tradisional joglo.
Saat masuk komplek, kami disambut beberapa gerbang berdinding tebal, berbahan batu bata yang memiliki corak menyerupai pura Hindu. Pintu gerbangnya terbuat dari kayu dan dipenuhi ukiran-ukiran yang detail nan artistik.
Di dalam komplek, terdapat pula masjid keraton yang masih digunakan hingga sekarang. Masjid ini tersusun oleh banyak tiang dan menyerupai pendopo. Jadi sholat dan beribadah di masjid ini menjadi lebih khusyuk dan nyaman karena angin sepoi-sepoi leluasa masuk.
Tak jauh dari masjid keraton, dapat ditemukan makam para raja. Beberapa raja Mataram Islam seperti Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanangan, Panembahan Senopati beserta para keluarga raja diketahui dimakamkan di komplek ini. Untuk raja sepeninggalnya, dimakamkan di Komplek Makam Raja Imogiri.
Selain menambah wawasan sejarah Nusantara, berkunjung ke komplek ini dapat memberi sensasi suasana kehidupan masyarakat Jawa masa lalu. Beberapa spot pun bagus untuk dijadikan latar belakang foto, sehingga Sil berinisiatif memotret dengan kamera Canon andalannya.
Berikut beberapa dokumentasi foto yang diabadikan selama kami berwisata ke Kotagede :
Tentang Mudik, Hidup Medioker dan Waktu
Aku pun sudah meminta izin kepada orangtua untuk tidak pulang tahun ini, dengan alasan akademis. Apalagi masa studiku tinggal 1 tahun lagi. Jadi setelah wisuda tahun depan (2020), aku bisa tinggal di rumah dalam waktu lama sambil bekerja. Tapi entah kenapa, sekarang perasaan campur aduk antara sedih, kecewa, kesal & bosan begitu kuat. Untuk mengalihkan pikiran, aku pun menghabiskan waktu membaca artikel di internet, mendengar lagu acak di Youtube, membaca buku, tidur, jalan-jalan keliling Bandung & sesekali jaga IGD saat kebagian jadwal jaga.
Hidup terasa begitu datar, sementara emosi naik turun mirip layangan putus. Sepertinya aku kehilangan suatu pegangan hidup yang bisa mendorongku untuk bergairah mengejar mimpi & bersemangat dalam beraktivitas. Seingatku, sampai saat ini aku tidak punya pegangan hidup seperti itu. Jika aku menginginkan pencapaian hidup tertentu, hal yang kulakukan hanya berusaha mencapai hal tersebut. Soal teknis & cara mencapainya, kubiarkan mengalir saja menurut insting yang kupercaya.
Tapi anehnya, semenjak kuliah di tahun 2014, tidak ada prestasi yang kucapai. Entah apa sebabnya. Apakah karena aku terlalu malas belajar, tidak punya motivasi unuk berprestasi, apatis memantau perlombaan/kegiatan atau memang pikiranku yang mudah terdistraksi hal-hal remeh seperti godaan menghabiskan waktu di medsos & goleran lama di kasur.
Menjadi orang biasa, atau yang bisa kita sebut medioker, seperti ini terasa menyiksa. Lalu bagaimana menghilangkan ketersiksaan itu? berhenti membandingkan hidup dengan orang lain, lebih mensyukuri hidup, mengevaluasi diri atau menyerah saja & kembali ke kampung untuk menjadi semakin medioker?
Pada tahun 2006, seorang musisi Amerika Serikat bernama John Mayer pernah menulis lagu "Stop This Train" yang bercerita tentang penolakan John untuk menjadi dewasa, sementara perputaran waktu tidak bisa ia tolak. Terjemahan liriknya kira-kira seperti ini :
Tidak, Aku tidak buta warna
Aku tahu dunia ini hitam dan putih
Mencoba untuk tetap berpikiran terbuka
tapi aku tidak bisa tidur malam ini
Hentikan kereta ini
Aku ingin turun dan kembali ke rumah lagi
Aku tidak bisa menerima kecepatan geraknya
Aku tahu aku tidak akan bisa
Tapi, jujur, tidak adakah seseorang (yang akan) menghentikan kereta ini?
Entah bagaimana lagi (untuk) mengatakannya,
(Aku) tak ingin melihat orang tuaku wafat
Satu generasi pergi
Dari perjuangan hidup demi diriku
Resah memang memikirkan waktu yang bergerak cepat. Menjadikan kita orang dewasa dengan segala tanggungjawab & ketidaknyamanan, sementara pengetahuan maupun pemikiran kita dalam menyelesaikan masalah hidup hanya begini-begini saja. Belum lagi kita tak pernah siap menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja.
Tapi siapa yang bisa menghentikan waktu, yang oleh Mayer diumpamakan sebagai kereta? Apakah kita yang berada di gerbong harus bergegas ke lokomotif & meminta masinis untuk menarik tuas rem saat kereta melaju cepat? Sementara jangankan untuk meminta berhenti, pertanyaan mendasar seperti dimana posisi lokomotif & siapa masinisnya saja kita tidak ada ide sama sekali. Seandainya kereta dapat berhenti, apakah kita akan kembali menjadi anak-anak yang suci, optimis & bahagia? Ataukah menjadi hidup abadi tanpa mengkhawatirkan maut?
Sudahlah, kuhanya bisa berharap semoga dadaku masih cukup lapang untuk menerima kenyataan sambil menciptakan setitik-setitik kebahagiaan dari dalamnya.
Untuk Apa Hidup?
Kekhawatiran selalu ada, terutama tentang masa depan diri. Kerja apa? Bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya? Apa bisa bahagia?
Pikiran-pikiran itu hanya menghabiskan waktu di masa sekarang. Kenikmatan hidup di masa kini luput tuk dirasakan. Berlalu begitu saja seiring putaran jarum jam.
Keresahan menciptakan kebosanan. Pertanyaan "Untuk apa hidup?" lalu lalang di tempurung kepala, tapi jawabannya nihil. Sulit dijawab.
Seorang filsuf dari Slovenia, Slavoj Zizek pernah berkata yang isinya kira-kira begini, "Kebosanan memicu kreativitas. Jika kau mencari kebahagiaan dalam diri, yang kau temukan hanyalah onggokan kotoran."
Sementara, ribuan tahun sebelum Masehi, seorang kaisar Romawi bernama Marcus Aurelius menulis di jurnal pribadinya. Ia menasehati diri, bahwa kebahagiaan bukan berasal dari luar diri, tapi berasal dari persepsi dalam pikiran.
Aku terombang-ambing di antara kebosanan hidup & usaha mencari kebahagiaan sejati. Terjebak di antara konsep nihilisme & optimisme. Tapi akhirnya, hanya satu pertanyaan yang familiar bagiku : "Hari ini enaknya makan apa ya?".
Urusan lidah & perut rupanya cukup efektif guna menyenangkan hati, meski sesaat.






