Senin, 03 Juni 2019

Menjelang hari raya Idul Fitri, laman timeline instagramku, yang diisi akun teman-teman SMA & kuliah, ramai dengan postingan mudik & persiapan lebaran. Ada teman yang memotret suasana Bandara, sayap pesawat, maupun foto daratan pulau Bangka yang bolong-bolong dihajar tambang timah. Aku yang memantau postingan-postingan itu dilanda kecemburuan, mengingat aku tidak pulang kampung tahun ini. Selain kebagian jadwal jaga IGD di H lebaran, alasanku tidak pulang adalah karena tiket pesawat yang mahal. Kalaupun aku memaksa diri untuk pulang, waktu liburnya pun pendek. Hanya sekitar 5 hari. Terlalu singkat untukku menikmati suasana kumpul keluarga besar, bertamu ke rumah kerabat & menikmati aneka macam makanan khas lebaran.

Aku pun sudah meminta izin kepada orangtua untuk tidak pulang tahun ini, dengan alasan akademis. Apalagi masa studiku tinggal 1 tahun lagi. Jadi setelah wisuda tahun depan (2020), aku bisa tinggal di rumah dalam waktu lama sambil bekerja. Tapi entah kenapa, sekarang perasaan campur aduk antara sedih, kecewa, kesal & bosan begitu kuat. Untuk mengalihkan pikiran, aku pun menghabiskan waktu membaca artikel di internet, mendengar lagu acak di Youtube, membaca buku, tidur, jalan-jalan keliling Bandung & sesekali jaga IGD saat kebagian jadwal jaga.

Hidup terasa begitu datar, sementara emosi naik turun mirip layangan putus. Sepertinya aku kehilangan suatu pegangan hidup yang bisa mendorongku untuk bergairah mengejar mimpi & bersemangat dalam beraktivitas. Seingatku, sampai saat ini aku tidak punya pegangan hidup seperti itu. Jika aku menginginkan pencapaian hidup tertentu, hal yang kulakukan hanya berusaha mencapai hal tersebut. Soal teknis & cara mencapainya, kubiarkan mengalir saja menurut insting yang kupercaya.

Tapi anehnya, semenjak kuliah di tahun 2014, tidak ada prestasi yang kucapai. Entah apa sebabnya. Apakah karena aku terlalu malas belajar, tidak punya motivasi unuk berprestasi, apatis memantau perlombaan/kegiatan atau memang pikiranku yang mudah terdistraksi hal-hal remeh seperti godaan menghabiskan waktu di medsos & goleran lama di kasur.

Menjadi orang biasa, atau yang bisa kita sebut medioker, seperti ini terasa menyiksa. Lalu bagaimana menghilangkan ketersiksaan itu? berhenti membandingkan hidup dengan orang lain, lebih mensyukuri hidup, mengevaluasi diri atau menyerah saja & kembali ke kampung untuk menjadi semakin medioker?

Pada tahun 2006, seorang musisi Amerika Serikat bernama John Mayer pernah menulis lagu "Stop This Train" yang bercerita tentang penolakan John untuk menjadi dewasa, sementara perputaran waktu tidak bisa ia tolak. Terjemahan liriknya kira-kira seperti ini :

Tidak, Aku tidak buta warna
Aku tahu dunia ini hitam dan putih

Mencoba untuk tetap berpikiran terbuka
tapi aku tidak bisa tidur malam ini

Hentikan kereta ini

Aku ingin turun dan kembali ke rumah lagi
Aku tidak bisa menerima kecepatan geraknya
Aku tahu aku tidak akan bisa
Tapi, jujur, tidak adakah seseorang (yang akan) menghentikan kereta ini?

Entah bagaimana lagi (untuk) mengatakannya,
(Aku) tak ingin melihat orang tuaku wafat
Satu generasi pergi
Dari perjuangan hidup demi diriku


Resah memang memikirkan waktu yang bergerak cepat. Menjadikan kita orang dewasa dengan segala tanggungjawab & ketidaknyamanan, sementara pengetahuan maupun pemikiran kita dalam menyelesaikan masalah hidup hanya begini-begini saja. Belum lagi kita tak pernah siap menghadapi kematian yang bisa datang kapan saja.

Tapi siapa yang bisa menghentikan waktu, yang oleh Mayer diumpamakan sebagai kereta? Apakah kita yang berada di gerbong harus bergegas ke lokomotif & meminta masinis untuk menarik tuas rem saat kereta melaju cepat? Sementara jangankan untuk meminta berhenti, pertanyaan mendasar seperti dimana posisi lokomotif & siapa masinisnya saja kita tidak ada ide sama sekali. Seandainya kereta dapat berhenti, apakah kita akan kembali menjadi anak-anak yang suci, optimis & bahagia? Ataukah menjadi hidup abadi tanpa mengkhawatirkan maut?

Sudahlah, kuhanya bisa berharap semoga dadaku masih cukup lapang untuk menerima kenyataan sambil menciptakan setitik-setitik kebahagiaan dari dalamnya.

Komentar Anda

Langganan Posting | Langganan Komentar

- Copyright © Faturrachman's Blog -Metrominimalist- Powered by Blogger - Kreasi oleh Faturrachman -