Archive for 2017
Suyatno si Kucing Tua
Kucing kampung tua itu tidur di atas kursi balkon kost. Bisa kulihat bulu-bulu usang & tekstur kulit yang mulai kendor tanda kucing ini, yang ku beri nama Suyatno, sudah memasuki masa senja. Seolah menanti ajal datang (atau malah tak peduli dengan ajal?), kulihat Suyatno begitu menikmati suasana sore itu, sore dengan angin sepoi-sepoi.
Sebenarnya aku iri dengan kucing macam Suyatno ini. Mereka hanya hidup untuk tidur, makan & kawin tanpa ada beban hidup yang harus dipikirkan. Tiada pencapaian apa-apa pun tak jadi masalah, karena yang mereka nikmati adalah masa sekarang, tak tahu adanya masa lalu & masa depan. Lahir, bertahan hidup, berkembang biak lalu mati tanpa dipusing pada bekal akhirat atau konsep surga & neraka.
Tidur pun kelihatannya mudah sekali bagi kucing. Hanya memejamkan mata, menyantaikan tubuh, lalu tak sampai 5 menit, kita sudah bisa merasakan dengkurannya.
Damai sekali.
Dari kucinglah aku belajar bagaimana cara menikmati hidup & lingkungan sekitar. Jika ada buruan, kejarlah buruan itu sekuat mungkin. Jika mau santai, santai saja sesantai-santainya. Kucing inilah makhluk yang menerapkan "play hard, wok hard" dengan paripurna.
Sebenarnya bukan work hard, tapi work effectively, mengingat mereka tidak akan memaksakan diri masuk ke sarang tikus jika memang sarangnya sempit sampai menyentuh kumis mereka.
Kucing rasional juga ternyata.
Selain melalui keseharian Suyatno di kost, aku mengamati kucing melalui video-video kucing lucu yang mudah didapat di Youtube & Twitter. Entah kenapa setelah melihat tingkah gemas mereka, aku merasa senang & ingin mengelus kucing-kucing tersebut.
Sayangnya yang ku elus hanya layar hape saja. Menyedihkan.
Ingin memelihara kucing sebagai penghilang stress, tapi aku malas membersihkan kotoran kucing, membeli makanan kucing yang lebih nahal dari nasi padang atau membawanya ke dokter hewan untuk perawatan.
Mungkin lebih baik ku memelihara kucing dengan cara seperti yang sering kulakukan selama ini : menghampiri Suyatno di teras balkon kost, memberikannya sedikit cemilanku lalu mengelusnya sampai dia tidur.
Kebodohan
Terlalu banyak hal yang dilupakan & terlalu sedikit yang terpatri sebagai kenangan.
Semua ingatan menguap ke langit ketujuh
Dimana kebodohan bersemayam & sewaktu-waktu dapat turun ke bumi
Hinggap di kepala banyak orang, lalu sebrutal mungkin membantai logika & menyuburkan ocehan kosong
Kapan kita bisa diam
Berpikir bahwa tidak setiap telinga mau mendengar
Tidak setiap kata yang terucap selalu diharap
Atau hanya kita yang terlalu bangga dengan lidah tak bertulang
Lalu sepuas hati bercakap-cakap
Tanpa sadar bahwa diam bermakna dalam
Pikiran dan Mimpi
Beberapa bulan terakhir aku menyukai suasana kamar yang gelap & sunyi. Berbaring & berdiam diri sambil menatap langit-langit kamar, lalu membiarkan pikiran melayang-layang melintasi ruang & waktu.
Kadang terpikir bagaimana kondisi Bangka sekarang, apa yang dilakukan pacar saat tengah malam, apa yang mau aku lakukan kalau kelak sudah jadi dokter, mau melanjutkan kuliah kemana, bagaimana menghilangkan sifat buruk di diri sendiri, buku apa yang mau dibaca (sampai habis).
Lalu kenapa nasib sering tidak beruntung, siapa wanita yang kulihat tadi siang, apa kira-kira lauk yang enak & pas di dompet untuk makan besok, kapan kelar skripsi, kapan lulus, kapan kawin, kapan kerja, dsb.
Segera setelah mengajukan pertanyaan, ku pikirkan beberapa jawaban & mulai memilih jawaban yang tepat disertai argumentasi-argumentasi penunjang tiap jawaban. Penjelasan tadi berisi serentetan hal-hal yang saling berkaitan, berkenaan dengan pertanyaan & biasanya berpola sebab-akibat.
Dasar otak miring. Pertanyaan receh dijawab secara ilmiah. Sementara soal-soal ujian yang banyak & susahnya naudzubillah malah dijawab asal-asalan. Pantas saja IPK yang tercetak jelas di transkrip nilai tidak layak untuk disombongkan ke tetangga.
Meskipun akhirnya aku tertidur lelap tak lama setelah berdialog dengan diri sendiri, tapi aku masih bisa melanjutkan pemikiran dengan cara yang lain,
Yakni bermimpi.
Aku menyukai mimpi karena mimpi punya alur & tokoh cerita yang sulit ditebak tapi asyik untuk diikuti. Serupa film, mimpi pun memiliki tema & mimpi yang paling sering kualami biasanya bertema petualangan, percintaan, kenangan masa kecil & horor. Sayangnya, satu mimpi memakai banyak latar tempat & tokoh yang terlibat, jadi lebih banyak mimpi yang terlupa ketimbang yang teringat.
Kalau pun teringat, itupun hanya beberapa saat. Ah, andai saja kita bisa mengingat mimpi lebih lama, tentu ada banyak cerita fiksi yang bisa ditulis & dibagi ke orang lain.
Ya, hanya dengan berbaring, berpikir & bermimpi, aku sudah bahagia. Entah ini tipikal hidup yang menyenangkan atau malah menyedihkan.
Menjadi Om-Om di Warung Sate Solo
"Siap Om!", jawab si Ibu yang samar-samar kudengar. Ku kira aku salah dengar mengingat wajah & umurku tergolong berkorelasi, sama-sama muda. Jadi, yaa sudahlah, aku hiraukan saja panggilan om tadi.
Sambil menunggu sate dipanggang, aku memandang lalu lalang kendaraan di jalan utama Bandung-Cirebon yang kebetulan melewati Jatinangor. Selalu ramai, seolah tak pernah habis aktifitas manusia di jalanan. Ada truk-truk besar pengantar barang dengan supir yang sibuk menikmati batang rokok di balik jendela truk. Kalau lepas rokok itu dari mulutnya, bisa oleng truknya. Kenapa?
Karena rokok adalah penghilang kantuk. Nikotin yang dihirup dari asap rokok memicu saraf otak untuk tetap merangsang fungsi organ tubuh lain tetap fit.
Ada juga minibus Bandung-Cikijing, biasa disebut elf. Penumpangnya padat, kernet mobilnya menggantung di pintu, supirnya alergi berkendara lambat-lambat. Supir elf inilah raja jalanan di jalur Bandung-Cirebon, selain emak-emak matic tentunya.
10 menit kemudian, sate ayam sudah matang. Setelah sate dibubuhi kuah kacang, si Ibu langsung memberikannya padaku.
"Silahkan Om dimakan satenya.", kata si Ibu sambil tersenyum lebar 5 cm simetris kiri & kanan.
Waduh bu, memang aku punya jambang di wajah yang tak jauh beda dengan om-om diluar sana, tapi setidaknya ibu bisa toh melihat raut muka yang muda lagi tampan ini. Gak mungkinlah aku yang imut-imut gini jalan bergandengan dengan tante-tante.
Tapi kalau tante yang aku gandeng janda muda usia sekitar 20 tahun sih gak apa-apa, rela sih jadi om.
Untung satenya enak & nasinya banyak, setidaknya bisa menghapus kesedihan setelah disapa dengan panggilan yang tak sesuai realita.
Imajinasi di Jemuran Kost
Tahun 2017 sudah berjalan 10 hari. Di 10 hari itu, ada UAS yang materinya susah karena dipelajari cuma dalam 1 malam. Gila, kuliah kedokteran sistem SKS mengancam kesehatan jiwa pelaku & bakal pasien yang akan ditangani kelak.
Semoga tahun ini aku bisa lebih bersemangat lagi membaca buku pelajaran, merenung, berpikir, berlogika, membangun jiwa yang bebas dari kesulitan realita hidup.
Singkat kata, semoga aku tidak malas & tidur-tiduran lagi.
Hari ini seminggu sebelum pengumpulan proposal skripsiku yang amburadul. Bagaimana tidak, kerjaanku 3 bulan ini hanya bermain bass, bermain laptop, bermain bantal,
Oke, maksudku tidur. Pokoknya banyak sekali waktu yang terbuang sia-sia dengan kegiatan remeh temeh seperti makan-tidur-boker, bengong di jemuran yang ada di lantai paling atas kostan sambil melihat Gunung Manglayang & matahari terbenam, ditemani lantunan tilawah speaker masjid dari arah barat.
Sebenarnya kegiatan yang kusebutkan terakhir itu tidak terlalu sia-sia. Momen menjelang magrib ternyata cukup ampuh merelaksasi jiwaku yang peragu ini. Duduk tenang, berbicara pada diri sendiri tentang apa yang dilihat, didengar & dirasakan saat itu.
Bermonolog dalam hati tentang awan di puncak gunung, langit jingga, kawanan burung terbang mengangkasa, sawah hijau membentang, pegunungan di area Garut-Tasikmalaya, pesawat terbang, kenangan masa kecil, meratapi hidup perkuliahan yang tiba-tiba terasa hampa, menyesali waktu yang cepat berlalu, memikirkan wanita-wanita yang tergantung kepastiannya, baik oleh hatiku, kemajuan proposal skripsiku, maupun kebisuanku.
Aku juga berkhayal tentang kebun alpukatku kelak, perpustakaan pribadi dengan koleksi 3 rak buku besar & berakses internet cepat, bass senar 6, sepoi angin di gazebo tepi tambak ikan bawalku, gagahnya sepeda ontelku di garasi rumah.
Baju koko, sarung & kopiah hitam kostum sholat berjamaah tergantung rapi di balik pintu kamar, buku-buku tulisanku berjejer di meja kerja, foto kenangan saat bertravel hampir menutupi dinding ruang keluarga, tumpukan indomie di dapur dimasak,
Orang tua yang selalu kutemani berbicara, komputer-komputer billing di warnetku yang dipenuhi bocah, anak buahku di tempat fotokopi yang mandi keringat, senyum ramah awak supir armada PO HIT (Perusahaan Otobus Habang Itu Toboali) di Shelter menyambut,
"Pagé Pak Aji! Ganteng wah enté ketingok e ari ni. Abis dapet jatah ken hemalem?", canda Usup (45 th) padaku yang sedang memantau shelter.
Derai tawa kami meledak tak tertahan.
Balik ke rumah, istriku tertawa manja setelah mendengar leluconku. Kagumku pada senyum manisnya tak pernah hilang sejak kami pertama kali bertemu. Aroma parfumnya pun khas sekali, memenuhi rongga hidungku & menyirami taman bunga di dadaku. Ia memegang tanganku, lalu menatapku seolah berkata,
"Aku tak ingin Kehilanganmu."
"Jangan gandeng wanita lain ya! Cukup tanganku saja yang bisa merengkuh tanganmu"
"Terima kasih atas segala hal yang kita jalani selama ini. Aku bersyukur kau masuk ke hidupku & menuntunku untuk selalu bahagia",
5 menit berlalu, lalu ia bersandar mesra di bahuku yang ringkih karena sering memikul junjung sahang.
Untung saja anak-anakku sedang asyik mewarnai spongebob dengan crayon pink & patrick dengan kuas air warna hijau sehingga aku & istriku bisa leluasa berpacaran.
Diluar rumah, ada banyak mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nawacita Toboali & UBB kampus Toboali yang terburu-buru ke tempat fotokopi karena dikejar deadline pengumpulan tugas. Di tempat fotokopi pun tak kurang ramainya, bunyi printer komputer bersahut-sahutan dengan raungan mesin fotokopi tua yang minta pensiun.
sayup-sayup suara musik jazz dari resepsi nikah tetangga di seberang kampung, disambut bunyi angsa berkembang biak di belakang rumah,
Ah, sudah cukup terbang di alam imajinasinya. Saatnya kembali menghafal materi & mengerjakan skripsi meski dirundung gejolak naluri untuk menikmati hidup.
