Archive for Maret 2018

Pak Udak dan Mang Aro

Zaman dulu di Toboali, sebuah kota kecil di selatan Pulau Bangka, pernah hidup 2 orang yang saling berteman. Mereka bernama Pak Udak & Mang Aro. Entah apa nama asli yang tertulis di akta lahir mereka, yang pasti penduduk Toboali mengenal mereka dengan nama Udak & Aro. 

Pak Udak dikenal sebagai seorang petani lada yang kerjanya hanya nongkrong di warung kopi, berkelakar tentang politisi yang tidak becus bekerja, tentang lada di kebunnya yang tak kunjung panen karena memang jarang diurus & membual tentang banyak hal. Salah satu bualannya yang terkenal bercerita ia pernah melihat alien keluar dari piring terbang yang besarnya seperti Masjid Jamik, singgah di gubuk kebunnya cuma sekedar untuk minta seikat petai, bersalaman tangan dengannya, lalu terbang lagi entah kemana. Banyak orang yang tertawa mendengar kisah itu, tapi ia berkali-kali bersumpah demi meyakinkan pengunjung warung kopi yang semuanya warga Toboali itu kalau cerita itu nyata.

Naasnya, ada beberapa manusia lemah akal yang hadir saat itu & menelan bulat-bulat bualan Pak Udak. Dari mulut merekalah kisah tersebut menyebar ke tetangga yang juga tak kalah parah lemah akalnya. Akibatnya dalam waktu 2 hari, Pak Udak menjadi seleb lokal dadakan & dicari banyak warga yang penasaran dengan kisah fenomenalnya itu. Dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa sampai golongan sepuh.

Dasar otak oportunis, Pak Udak menaruh tarif Rp.100 sebagai syarat agar ia bisa mulai menceritakan kedatangan alien. Karena nominal tersebut cukup mahal di masa itu, maka para warga terpaksa berpatungan Rp.5/orang agar Pak Udak mau bercerita. Padahal uang Rp.5 di zaman itu bisa dipakai membeli 2 balok pempek.

Setelah Rp.100 terkumpul & warga sudah duduk khusyuk di halaman rumah ibunya, Pak Udak mulai bercerita. Kali ini bualannya lebih fantastik. Katanya ia sempat berkenalan dengan si alien yang ternyata bernama Mat To'ing. Mat To'ing datang dari planet Antah Berantah untuk menyebarkan dakwah Islam di Toboali.

Semua orang berdecak kagum sambil melafadzkan Asma Allah lalu lanjut mendengarkan penjelasan dari lidah Pak Udak.

Tak hanya berkenalan. Pak Udak pun sempat masuk ke dalam piring terbang & melihat kecanggihan teknologi di dalamnya. Ada banyak tombol-tombol rumit di ruang kendali yang tak Pak Udak pahami. Tapi karena penasaran, ia nekad menekan salah satu tombol secara acak tanpa seizin si Alien.

Tiba-tiba terdengar riuh mesin piring terbang & semua tombol di situ berkedip-kedip. Asap keluar dari celah-celah di bawah ruangan & parahnya pintu piring terbang hampir menutup!

Semua hadirin tampak tegang.

Pak Udak melanjutkan cerita. Saat pintu hampir menutup & hanya menyisakan celah 50 cm, Pak Udak refleks melompat keluar. Untung ia bisa menyelamat diri & tidak sampai terbawa terbang bersama piring raksasa itu.

Rojak, seorang laki-laki penambang timah yang punya anak 8 orang, lantas bertanya,

"Duk?! Alien e la masuk lum pas piring e terbeng? Ape ketinggel die di pundok ka?"

"Lum masuk, tapi die langsung terbeng ngejer piring tu. Macem ken burung gereja besayap lengen die terbeng.", jawab Pak Udak.

Makin kagumlah para hadirin setelah mendengar jawaban Pak Udak.

Semenjak bualan tambahan itu menyebar, anak-anak SD di Toboali banyak yang bercita-cita melihat alien langsung & mengambil alih kemudi piring terbang.

------

Selain dikenal dengan bualannya, Pak Udak juga dikenal bujang lapuk. Usianya sudah mencapai kepala lima, tapi belum punya istri bahkan pacar sekalipun. Isu yang merebak di kalangan ibu-ibu & penjual sayur gerobak yang kupingnya terlatih mendengar gosip, bahwa Pak Udak membujang karena berusaha mencari wanita yang mirip Ani di Film Rhoma Irama yang ia tonton di bioskop silam. Ada juga isu yang mengatakan kalau Pak Udak menjalani tarekat ilmu kebatinan yang pantang menikah, isu "barang" Pak Udak tidak bisa berdiri & belum disunat, sampai isu tak ada wanita yang mau dengan Pak Udak yang bau ketiaknya menusuk hidung & bikin lalat mengerumuni.

Yang pasti semua warga sepakat Pak Udak bujangan sejati yang kemana-mana hanya ditemani sahabat karibnya, Mang Aro.

Mang Aro ini tipikal laki-laki yang tidak banyak tingkah. Jika azan berkumandang, ia bergegas mengambil kopiah resam, mengayuh sepeda ontel kesayangannya & pergi ke masjid. Jika sandalnya hilang saat sholat jumat, ia tak ragu pulang berjalan telanjang kaki. Jika toko kelontongnya sepi pembeli, ia meramaikan suasana dengan memutar sealbum lagu Mansyur S dari tape kaset gulung kesayangannya. Jika istrinya mengamuk tanpa sebab, ia hanya diam saja, memasrahkan diri diomeli istrinya yang punya berat 90 kilo & jari-jari tangan yang lebih mirip jempol.

Saat pemerintah menggalakkan program KB yang berslogan "dua anak cukup!", Mang Aro pun menuruti dengan hanya punya masing-masing 1 anak laki & bini. Akibatnya ia sering dimarahi orang tua & mertua yang memegang teguh slogan "Banyak anak, banyak rejeki.". 

Karena seringkali dimarahi, Mang Aro menghibur diri dengan cara berkelakar & ikut Pak Udak, temannya sejak kecil, kemanapun ia pergi. Yang Mang Aro tahu, hanya Pak Udak yang tak pernah memarahinya.

(Selanjutnya : Asal Usul Pertemanan Pak Udak & Mang Aro)
Minggu, 25 Maret 2018

Tidur Dalam Kelas

Menceritakan mimpi mungkin tidak lazim bagi kebanyakan orang karena mimpi akan segera terlupakan sesaat setelah bangun tidur. Tapi entah kenapa aku sering kali teringat beberapa mimpi karena alur ceritanya yang aneh, rumit, misterius & terkadang erotis.

Salah satu mimpi yang kuingat dimulai dengan suasana perkuliahan, dimana ada banyak mahasiswa mengisi ruangan. Muka mereka seperti teman-teman kuliahku & tampaknya mereka sibuk ngobrol dengan teman sebelahnya. Ruangan kelasnya pun aneh, seperti ruang tamu yang berinterior layaknya rumah orang kaya yang diisi beberapa meja kecil dengan toples penuh cemilan di dalamnya. Kalau seandainya kampus di dunia nyata seperti ini, entah berapa uang semesteran yang harus dibayar.

Saat kelas ribut, ada seorang wanita paruh baya yang berjalan dari satu bangku mahasiswa ke bangku yang lain sambil membagikan kertas. Menurutku, ia adalah dosen senior, karena gaya berjilbab & berpakaiannya yang mirip ibu-ibu penjabat. Saat melewati bangkuku, ia memberikan selembar kertas. Aku tidak tahu kertas itu digunakan untuk apa, mengingat saat itu bukan waktu ujian & harusnya ia memberikan kuliah filsafat. Tapi saat ku lihat ke kertas tersebut, ada 2 soal tertulis di situ. Aku lupa apa tulisannya. Selain itu ku bingung bagaimana cara menjawab soal tersebut. Apakah dengan ditulis atau dijawab langsung secara lisan? Entahlah, yang pasti karena terlalu bingung, aku mengantuk & langsung tidur.

Aku tidur di dalam mimpi. Betapa anehnya hubungan batinku dengan alam tidurku.

Ketika bangun tidur, aku mendapati kelas sudah kosong. Yang ada hanya ruangan yang gelap & berisi aksesoris ruang tamu seperti kursi & meja yang mewah. Hal tersebut membuatku sadar kalau aku tidur terlalu nyenyak sampai kelas bubar, ditinggalkan teman-teman & bangun di malam hari.

Sebenarnya suasana ruangan tersebut cukup seram. Tak ada cahaya selain cahaya bulan yang masuk lewat jendela & ornamen-ornamen ruangan itu seolah memancarkan aura mengerikan. Di luar pun ku lihat ada segerombolan anak pramuka, yang lebih mirip zombie, sedang kamping. Mereka hanya diam saja sambil membelakangi ruangan kelasku.

Tapi aku tak ambil pusing dengan segala kengerian & potensi kemunculan hantu mendadak. Maklum, yang ada di pikiranku saat itu hanyalah ingin cepat pulang & makan. Sayangnya, pintu kelas terkunci sehingga aku tidak bisa keluar. Terpaksa ku berkeliling mengitari meja-meja di kelas untuk melihat isi toples. Siapa tahu ada kue atau snack yang enak buat jadikan cemilan.

Tak berapa lama, aku menemukan toples kaca berwarna merah berisi permen kopiko. Isinya cukup banyak. "Lumayan buat dibawa pulang.", gumamku. Jadi ku raup saja permen tersebut & menyisakan sedikit di toples. 

Tiba-tiba, ku lihat pintu kelas terbuka & ada cahaya menyorot dari luar pintu. Aku sudah menyiapkan mental jika yang akan ku lihat dari balik pintu itu adalah sosok makhluk halus. Syukurnya, sosok yang muncul tersebut bukan hantu, tapi pak satpam. Dengan berbaju seragam, memakai topi serta membawa tongkat & senter, ia masuk ruangan, hendak berpatroli malam. Jadi ku sapa saja.

"Pak! Sori ya saya masih di kelas, abis ketiduran dari siang tadi."

"Iya, gak apa-apa."

"Oh iya pak, boleh gak saya bawa pulang permen ini?", kataku sambil menunjukkan permen di genggaman tanganku ke pak satpam.

Ia hanya memberi isyarat gerakan tongkat ke kiri & ke kanan sambil menunjuk toples-toples di meja. Yaa, aku dilarang mengambil permen & disuruh mengembalikannya ke toples semula. Tapi saat aku hendak mengembalikan & berjalan mendekati meja, toples permen tadi ternyata hilang! Aku berusaha meyakinkan pak satpam kalau di meja itu seharusnya ada toples permen. Meski kami sudah mencari ke segala penjuru ruang kelas, toples merah tersebut tetap tidak ada.

Sudahlah, akhirnya aku pun pulang & bangun tidur beneran pukul 2 dini hari.
Sabtu, 24 Maret 2018
Tag :

Cantik itu Luka

Tahun lalu, aku lupa tanggal & bulannya, aku datang ke toko buku Aldy di Jatinangor, Sumedang. Semenjak menjadi mahasiswa Unpad, aku sering datang kesitu. Tempatnya tidaklah luas, hanya berukuran 5x5 meter persegi dengan tumpukan bermacam-macam jenis buku yang sudah dikelompokkan sedemikian rupa untuk memudahkan pencarian. Sebagian besar berisi buku-buku teks perkuliahan rumpun sosial & novel-novel repro atau bekas.

Karena tumpukan buku yang banyak itulah, aku bisa menghabiskan waktu sekitar sejam lebih disana hanya untuk mencari 1-2 buku. Ya, salahku juga sih, tidak menentukan judul buku yang ingin dibeli sebelum pergi ke toko buku. Aku hanya membawa uang seratus ribu & berharap bisa dapat minimal 2 buku berkualitas dengan dana segitu.

Tak menentunya selera jenis bukuku membuatku sering membeli buku yang juga ikut tak tentu. Termasuk ketika berkunjung ke toko buku Aldy. Ketika sampai deretan rak novel, aku tak sengaja melihat novel "Cantik itu Luka" yang ditulis Eka Kurniawan, seorang sastrawan yang menamatkan kuliahnya di Fakultas Filsafat UGM. Aku sering mendengar kesohoran namanya di Twitter, termasuk ketika novelnya yang berjudul "Man Tiger" atau "Lelaki Harimau" masuk dalam nominasi The Man Book Prize 2016. Mengetahui reputasi si penulis, maka aku tak ragu untuk membeli novelnya, "Cantik itu Luka".

"Sabaraha ieu, A'?", tanyaku dalam bahasa sunda.

"40 rebu, kang.". Lumayan murah juga, batinku.

"Oooh, sok bungkusken weh A'."

Setelah disampul & kubawa pulang ke kost, ku lihat tebal novel ini. 500 halaman, tebal sekali bagi orang yang bukan pembaca tekun sepertiku. Karena mental blocking sejak awal beli, aku belum ada niat untuk mulai membaca novel ini. Sampai waktu berlalu setahun & novel "Cantik itu Luka" masih menjadi pajangan di kamar.

Sampai suatu ketika ku punya waktu luang yang tak terbatas karena selesai sidang skripsi & terlambat masuk koass di bulan februari 2018. Guna mengisi masa menganggur, aku mulai aktif di Goodreads & mematok target 30 buku di tahun 2018. Oleh karena itu, ku bongkar-bongkar kotak buku & tumpukan buku-buku di pojok kamar, mencari buku yang enak buat dibaca. Ada beberapa buku yang ku temukan & kelihatannya menarik untuk dibaca, seperti George Orwell -1984, Noah Yuvall Harari - Sapiens, Hamka - Tasawuf Modern, termasuk Eka Kurniawan - Cantik itu Luka yang berdebu & mulai usang.

Menjelang jam 12 malam yang sunyi & kondusif buat membaca, ku mulai melahap cerita-cerita di novel itu. Bagi yang tidak menyukai spoiler, bisa dilewati saja. Tapi bila mau membaca juga tidak apa-apa.

Novel diawali dengan bangkitnya Dewi Ayu dari kubur setelah berada di dalam sana selama 21 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai pelacur sekaligus wanita paling cantik di daerah Halimunda (entah itu daerah kota atau desa, kemungkinan kota kecil) karena memiliki darah Belanda. Setelah berjalan ke rumahnya, Dewi Ayu hanya menemukan seorang wanita berusia 21 tahun yang rupanya jelek sekali, serupa kodok berbadan manusia. Awalnya ia terkejut, lalu bertanya,

"Siapa namamu?"

"Namaku Cantik."

Spontan Dewi Ayu tertawa lepas karena Cantik adalah nama yang ia berikan pada anak kandungnya dulu. Sebelumnya ia sudah punya 3 anak yang juga sangat cantik. Alamanda, Adinda & Maya Dewi. Semuanya meninggalkan Dewi Ayu setelah menikah.

---

Lalu cerita  berlanjut ke masa lalu, tentang kesetiaan & keanehan hubungan antara Ma Iyang yang menjadi pelacur & Ma Gedik yang menjadi gila karena harus menunggu Ma Iyang selama 16 tahun. Setelah 16 tahun berlalu, Ma Gedik yang tiba-tiba waras bertemu Ma Iyang yang berlari ke salah satu bukit di Halimunda. Guna melepas rindu, mereka berdua berhubungan badan di atas bukit sambil disaksikan warga sekitar & prajurit Belanda. Tak lama setelah selesai, Ma Iyang tiba-tiba terbang & hilang entah kemana. Semenjak saat itu, bukit tersebut dinamakan bukit Ma Iyang.

Ma Gedik pun sedih & mengurung diri di pinggiran Halimunda yang banyak nyamuk anopheles. Meski hidup sendiri, ia menganggap punya istri & 19 anak.

Hingga suatu hari Ma Gedik dipaksa oleh kaki tangan Dewi Ayu untuk menikahi wanita tersebut. Ma Gedik menolak mati-matian, tapi tetap dipaksakan. Tak lama setelah akad nikah & malam pertama yang tanpa satu sentuhan pun, Ma Gedik berlari ke bukit yang ada di samping bukit Ma Iyang. Ia melompat & berharap bisa masuk ke "khayangan" seperti Ma Iyang. Tapi ternyata ia jatuh & remuk redam.

Oleh Dewi Ayu, bukit itu dinamakan bukit Ma Gedik.

---

Ya, ceritanya masih panjang. Aku tidak sanggup memindahkan keseluruhan novel ke dalam satu tulisan blog. Tapi secara keseluruhan, novel "Cantik itu Luka" mengombinasikan antara mistisme, keganjilan psikologi manusia, seksualitas, kekerasan, bahkan lini masa sejarah Indonesia dari masa kolonialisme Belanda, penjajahan Jepang, masa revolusi, pembasmian pengikut PKI, sampai awal orde baru yang dikuasai ABRI. Ku kira Eka Kurniawan cukup kreatif untuk memadukan aspek fiksi, psikologi & sejarah ke dalam setting cerita. Entah berapa buku yang telah dibaca guna mencari referensi cerita yang epik seperti ini.

Novel ini menunjukkan kompleksitas psikologi & sosial manusia, serta liarnya imajinasi bila dituangkan ke dalam tulisan.

Bagiku, novel "Cantik itu Luka" menjadi novel favorit setelah novel Andrea Hirata (Tetralogi Laskar Pelangi & Pada Bulan). Semoga lebih banyak lagi novel yang kubaca & suatu saat kelak (entah kapan) aku bisa menulis novel, kumpulan cerpen atau sebuah cerpen saja dengan inspirasi dari novel-novel tersebut.
Selasa, 13 Maret 2018

Dokter

Menceritakan keluarga tidak ada habisnya bagiku, terutama tentang mimpi orang tua yang selalu mendorongku untuk jadi dokter. Ayahku sering menelpon & menanyakan kabar akademik. Sesekali ia menceritakan enaknya jadi dokter. Di Toboali, ada dokter spesialis obstetrik & ginekologi (kandungan) yang tunjangannya saja tembus sampai 45 juta/bulan. Belum termasuk gaji pokok, kerja tambahan di klinik swasta bahkan investasi di bidang pertambangan timah, perkebunan & peternakan. Entah bagaimana dokter tersebut membagi pikirannya. Intinya, ayah berharap kelak aku & adik-adikku (yang juga bakal diarahkan menjadi dokter) tidak kesulitan mencari kerja, mendapat uang sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.

Aku hanya mendengarkan & mengaminkan. Meski di mata kuliah Bioetika kami diajarkan untuk menjadi dokter yang fokus melayani pasien & tidak berorientasi pada uang, tapi pada kenyataannya dokter juga manusia yang juga punya tanggungan hidup & kebutuhan. Apalagi kebanyakan dokter, kalau tidak dibilang semuanya, punya pendapatan yang tinggi.

Begitulah ayahku menaruh mimpi di anak sulungnya ini. Padahal semangatku dalam menjalani kuliah kedokteran hanya setengah-setengah. Sampai menjelang wisuda pada bulan Mei ini, prinsip ilmu kedokteran yang harusnya ku kuasai luar-dalam sebelum masuk dunia klinik seperti anatomi, biologi sel, fisiologi, histologi, biokimia, embriologi, mikrobiologi, parasitologi, patofisiologi, manajemen klinis, farmakologi dll hampir tidak ada di otakku. Kadang ku bingung sendiri, bagaimana caranya menguasai ilmu kedokteran dengan waktu tinggal 2 tahun ini. Setidaknya jika lulus nanti, aku dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, tidak salah memberikan obat & penanganan pasien yang salah.

Tapi yasudahlah, aku sudah terlanjur masuk ke dunia keilmuan yang bahkan masih asing bagiku. Sehingga untuk memacu semangat, ku mematok 2 gelar yang harus ku dapatkan : gelar dokter umum & magister manajemen rumah sakit. Aku ingin mendirikan klinik spesialis (utama) sekaligus laboratorium klinik di bawah manajemenku sendiri. Kalau ada kesempatan, uang & (terutama) semangat belajar, tidak mustahil ku nanti kuliah spesialis. Entah dalam bidang spesialisasi apa : Obgyn, saraf, patologi klinis atau malah forensik. Mungkin semasa koas ku bisa menentukan pilihan.

Yang pasti aku ingin mempelajari bidang ilmu ini lebih dalam. Aku masih bodoh. Lagian selama ini waktuku hanya dihabiskan untuk internetan, terutama mengakses twitter. Membaca perdebatan politik tidak berguna, humor receh, gosip artis, berita politik doktrin politik (entah itu kapitalisme atau komunisme) dll. Padahal aku tidak berniat sama sekali untuk masuk ke dunia politik, meski aku tahu dunia politik adalah pintu masuk untuk memberi perubahan pada daerah, entah itu baik atau buruk.

Di usia kepala dua dengan tanggung jawab & tekanan dari keluarga untuk menyelesaikan urusan akademik ini, ku kira sudah seharusnya ku menghayati pembelajaran di fakultas & meluruskan niat lagi. Mengurangi waktu internetan, memperbanyak baca, berlatih keterampilan klinis, menyusun pikiran & menulis apa yang sudah ku pelajari.

Semoga saja...
Sabtu, 10 Maret 2018

- Copyright © Faturrachman's Blog -Metrominimalist- Powered by Blogger - Kreasi oleh Faturrachman -