- Back to Home »
- Dokter
Sabtu, 10 Maret 2018
Menceritakan keluarga tidak ada habisnya bagiku, terutama tentang mimpi orang tua yang selalu mendorongku untuk jadi dokter. Ayahku sering menelpon & menanyakan kabar akademik. Sesekali ia menceritakan enaknya jadi dokter. Di Toboali, ada dokter spesialis obstetrik & ginekologi (kandungan) yang tunjangannya saja tembus sampai 45 juta/bulan. Belum termasuk gaji pokok, kerja tambahan di klinik swasta bahkan investasi di bidang pertambangan timah, perkebunan & peternakan. Entah bagaimana dokter tersebut membagi pikirannya. Intinya, ayah berharap kelak aku & adik-adikku (yang juga bakal diarahkan menjadi dokter) tidak kesulitan mencari kerja, mendapat uang sekaligus bermanfaat bagi masyarakat.
Aku hanya mendengarkan & mengaminkan. Meski di mata kuliah Bioetika kami diajarkan untuk menjadi dokter yang fokus melayani pasien & tidak berorientasi pada uang, tapi pada kenyataannya dokter juga manusia yang juga punya tanggungan hidup & kebutuhan. Apalagi kebanyakan dokter, kalau tidak dibilang semuanya, punya pendapatan yang tinggi.
Begitulah ayahku menaruh mimpi di anak sulungnya ini. Padahal semangatku dalam menjalani kuliah kedokteran hanya setengah-setengah. Sampai menjelang wisuda pada bulan Mei ini, prinsip ilmu kedokteran yang harusnya ku kuasai luar-dalam sebelum masuk dunia klinik seperti anatomi, biologi sel, fisiologi, histologi, biokimia, embriologi, mikrobiologi, parasitologi, patofisiologi, manajemen klinis, farmakologi dll hampir tidak ada di otakku. Kadang ku bingung sendiri, bagaimana caranya menguasai ilmu kedokteran dengan waktu tinggal 2 tahun ini. Setidaknya jika lulus nanti, aku dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, tidak salah memberikan obat & penanganan pasien yang salah.
Tapi yasudahlah, aku sudah terlanjur masuk ke dunia keilmuan yang bahkan masih asing bagiku. Sehingga untuk memacu semangat, ku mematok 2 gelar yang harus ku dapatkan : gelar dokter umum & magister manajemen rumah sakit. Aku ingin mendirikan klinik spesialis (utama) sekaligus laboratorium klinik di bawah manajemenku sendiri. Kalau ada kesempatan, uang & (terutama) semangat belajar, tidak mustahil ku nanti kuliah spesialis. Entah dalam bidang spesialisasi apa : Obgyn, saraf, patologi klinis atau malah forensik. Mungkin semasa koas ku bisa menentukan pilihan.
Yang pasti aku ingin mempelajari bidang ilmu ini lebih dalam. Aku masih bodoh. Lagian selama ini waktuku hanya dihabiskan untuk internetan, terutama mengakses twitter. Membaca perdebatan politik tidak berguna, humor receh, gosip artis, berita politik doktrin politik (entah itu kapitalisme atau komunisme) dll. Padahal aku tidak berniat sama sekali untuk masuk ke dunia politik, meski aku tahu dunia politik adalah pintu masuk untuk memberi perubahan pada daerah, entah itu baik atau buruk.
Di usia kepala dua dengan tanggung jawab & tekanan dari keluarga untuk menyelesaikan urusan akademik ini, ku kira sudah seharusnya ku menghayati pembelajaran di fakultas & meluruskan niat lagi. Mengurangi waktu internetan, memperbanyak baca, berlatih keterampilan klinis, menyusun pikiran & menulis apa yang sudah ku pelajari.
Semoga saja...