- Back to Home »
- Cantik itu Luka
Tahun lalu, aku lupa tanggal & bulannya, aku datang ke toko buku Aldy di Jatinangor, Sumedang. Semenjak menjadi mahasiswa Unpad, aku sering datang kesitu. Tempatnya tidaklah luas, hanya berukuran 5x5 meter persegi dengan tumpukan bermacam-macam jenis buku yang sudah dikelompokkan sedemikian rupa untuk memudahkan pencarian. Sebagian besar berisi buku-buku teks perkuliahan rumpun sosial & novel-novel repro atau bekas.
Karena tumpukan buku yang banyak itulah, aku bisa menghabiskan waktu sekitar sejam lebih disana hanya untuk mencari 1-2 buku. Ya, salahku juga sih, tidak menentukan judul buku yang ingin dibeli sebelum pergi ke toko buku. Aku hanya membawa uang seratus ribu & berharap bisa dapat minimal 2 buku berkualitas dengan dana segitu.
Tak menentunya selera jenis bukuku membuatku sering membeli buku yang juga ikut tak tentu. Termasuk ketika berkunjung ke toko buku Aldy. Ketika sampai deretan rak novel, aku tak sengaja melihat novel "Cantik itu Luka" yang ditulis Eka Kurniawan, seorang sastrawan yang menamatkan kuliahnya di Fakultas Filsafat UGM. Aku sering mendengar kesohoran namanya di Twitter, termasuk ketika novelnya yang berjudul "Man Tiger" atau "Lelaki Harimau" masuk dalam nominasi The Man Book Prize 2016. Mengetahui reputasi si penulis, maka aku tak ragu untuk membeli novelnya, "Cantik itu Luka".
"Sabaraha ieu, A'?", tanyaku dalam bahasa sunda.
"40 rebu, kang.". Lumayan murah juga, batinku.
"Oooh, sok bungkusken weh A'."
Setelah disampul & kubawa pulang ke kost, ku lihat tebal novel ini. 500 halaman, tebal sekali bagi orang yang bukan pembaca tekun sepertiku. Karena mental blocking sejak awal beli, aku belum ada niat untuk mulai membaca novel ini. Sampai waktu berlalu setahun & novel "Cantik itu Luka" masih menjadi pajangan di kamar.
Sampai suatu ketika ku punya waktu luang yang tak terbatas karena selesai sidang skripsi & terlambat masuk koass di bulan februari 2018. Guna mengisi masa menganggur, aku mulai aktif di Goodreads & mematok target 30 buku di tahun 2018. Oleh karena itu, ku bongkar-bongkar kotak buku & tumpukan buku-buku di pojok kamar, mencari buku yang enak buat dibaca. Ada beberapa buku yang ku temukan & kelihatannya menarik untuk dibaca, seperti George Orwell -1984, Noah Yuvall Harari - Sapiens, Hamka - Tasawuf Modern, termasuk Eka Kurniawan - Cantik itu Luka yang berdebu & mulai usang.
Menjelang jam 12 malam yang sunyi & kondusif buat membaca, ku mulai melahap cerita-cerita di novel itu. Bagi yang tidak menyukai spoiler, bisa dilewati saja. Tapi bila mau membaca juga tidak apa-apa.
Novel diawali dengan bangkitnya Dewi Ayu dari kubur setelah berada di dalam sana selama 21 tahun. Dulu, ia dikenal sebagai pelacur sekaligus wanita paling cantik di daerah Halimunda (entah itu daerah kota atau desa, kemungkinan kota kecil) karena memiliki darah Belanda. Setelah berjalan ke rumahnya, Dewi Ayu hanya menemukan seorang wanita berusia 21 tahun yang rupanya jelek sekali, serupa kodok berbadan manusia. Awalnya ia terkejut, lalu bertanya,
"Siapa namamu?"
"Namaku Cantik."
Spontan Dewi Ayu tertawa lepas karena Cantik adalah nama yang ia berikan pada anak kandungnya dulu. Sebelumnya ia sudah punya 3 anak yang juga sangat cantik. Alamanda, Adinda & Maya Dewi. Semuanya meninggalkan Dewi Ayu setelah menikah.
---
Lalu cerita berlanjut ke masa lalu, tentang kesetiaan & keanehan hubungan antara Ma Iyang yang menjadi pelacur & Ma Gedik yang menjadi gila karena harus menunggu Ma Iyang selama 16 tahun. Setelah 16 tahun berlalu, Ma Gedik yang tiba-tiba waras bertemu Ma Iyang yang berlari ke salah satu bukit di Halimunda. Guna melepas rindu, mereka berdua berhubungan badan di atas bukit sambil disaksikan warga sekitar & prajurit Belanda. Tak lama setelah selesai, Ma Iyang tiba-tiba terbang & hilang entah kemana. Semenjak saat itu, bukit tersebut dinamakan bukit Ma Iyang.
Ma Gedik pun sedih & mengurung diri di pinggiran Halimunda yang banyak nyamuk anopheles. Meski hidup sendiri, ia menganggap punya istri & 19 anak.
Hingga suatu hari Ma Gedik dipaksa oleh kaki tangan Dewi Ayu untuk menikahi wanita tersebut. Ma Gedik menolak mati-matian, tapi tetap dipaksakan. Tak lama setelah akad nikah & malam pertama yang tanpa satu sentuhan pun, Ma Gedik berlari ke bukit yang ada di samping bukit Ma Iyang. Ia melompat & berharap bisa masuk ke "khayangan" seperti Ma Iyang. Tapi ternyata ia jatuh & remuk redam.
Oleh Dewi Ayu, bukit itu dinamakan bukit Ma Gedik.
---
Ya, ceritanya masih panjang. Aku tidak sanggup memindahkan keseluruhan novel ke dalam satu tulisan blog. Tapi secara keseluruhan, novel "Cantik itu Luka" mengombinasikan antara mistisme, keganjilan psikologi manusia, seksualitas, kekerasan, bahkan lini masa sejarah Indonesia dari masa kolonialisme Belanda, penjajahan Jepang, masa revolusi, pembasmian pengikut PKI, sampai awal orde baru yang dikuasai ABRI. Ku kira Eka Kurniawan cukup kreatif untuk memadukan aspek fiksi, psikologi & sejarah ke dalam setting cerita. Entah berapa buku yang telah dibaca guna mencari referensi cerita yang epik seperti ini.
Novel ini menunjukkan kompleksitas psikologi & sosial manusia, serta liarnya imajinasi bila dituangkan ke dalam tulisan.
Bagiku, novel "Cantik itu Luka" menjadi novel favorit setelah novel Andrea Hirata (Tetralogi Laskar Pelangi & Pada Bulan). Semoga lebih banyak lagi novel yang kubaca & suatu saat kelak (entah kapan) aku bisa menulis novel, kumpulan cerpen atau sebuah cerpen saja dengan inspirasi dari novel-novel tersebut.